Rabu, 10 November 2021

Hujan yang Merindu

Hari ini hujan turun kembali
Seolah melambangkan sendu dan rindu
Menggambarkan rasa melankolis dan romantis
Air mata langit yang turun mengantarkan perjalananmu

Ini hanya keegoisanku sedikit
Hanya sedikit saja
Biarkan aku untuk merindu
Biarkan aku untuk mengenang
Biarkan aku untuk mengingatmu

Hanya waktu ini tak akan cukup
Mungkin nanti
Mungkin esok
Aku akan kembali untuk merindu
Saat ini izinkan sejenak saja diriku untuk menangis
Melepaskan kehadiranmu
Merelakan sisa rasaku
Ditemani hujan yang turun
Rintik air yang mengalir  seiring dengan waktu




Rabu, 15 September 2021

Dapatkah Semuanya Berlalu?



Satu langkah
Dua langkah
Tiga langkah
Pada akhirnya aku mencapai titik ini

Empat langkah
Lima langkah
Enam langkah
Aku merasa bermimpi adalah hal yang bodoh

Tujuh langkah
Delapan langkah
Sembilan langkah
Aku ragu kenapa diriku masih berjalan

Sepuluh langkah...
Aku mulai berhenti
Berpikir semuanya sungguh tidak berguna
Rasanya menyesakkan
Bahkan jika aku mencoba bernafas dengan susah payah

Berhenti seperti patung
Aku mencoba merefleksikan semua yang lalu
Mungkin itu adalah lalu, tapi efeknya begitu ganas sekarang
Mereka berkata terlambat bahkan diriku untuk menyesal

Seharusnya aku tak menahan apapun
Seharusnya aku mengatakannya
Aku merasa bodoh mendengarnya, karna aku berpikir bagus jika aku menahannya
Aku harus kuat untuk bertahan hidup
Karena dunia bertindak keras padaku
Tapi kini aku disalahkan
Sungguh ironi

Jika aku menangis dan memohon sekarang, dapatkah keajaiban terjadi?
Bahkan jika aku berteriak, apa dunia masih mendengarku?
Aku ragu...
Tidak.. aku takut
Aku takut bermimpi
Aku takut memegang tali harapan
Aku takut jatuh.. lagi
Walau aku sudah melihat realita 
Dan realita terkesan tidak menyisakan apapun untukku

Haruskah aku berhenti? 
Atau melangkah lagi?
Badai berkecamuk di sekitarku
Menahanku untuk maju dan melihat
Membuatku tersesat
Seolah berkata tak akan membiarkanku lewat

Tuhan... Apa yang harus kulakukan?
Aku memeluk diriku sendiri
Membuat diriku tampak kecil 
Berusaha untuk berlindung dari dunia
Tapi setelah semua itu, aku masih tak bisa menangis
Hanya kosong yang kurasa
Begitu hampa dan sepi

Pada akhirnya aku mencoba melangkah lagi
Mengambil satu tanpa tahu arah
Melihat kapan aku akan berhenti
Mengikuti angin dari badai
Sampai kakiku sakit tanpa tahu waktu yang berlalu




Minggu, 11 Desember 2016

jalan besi tua #puisi


rel itu tak bergerak. tapi dibalik jendela peronku mereka seolah terus mengikutiku. suara halus yang khas berdengung saat besi roda dan besi rel bersinggungan, amat sangat kusukai.

aku suka melihat jalanan dengan kendaraan yang berhenti saat kami lewat. aku suka melihat pepohonan seoalah berlari mengejar, dan aku meninggalkannya dengan cepat.
aku juga menikmati melewati rumah - rumah dengan atap yang berbeda. berjalan terus melewati stasiun -stasiun yang tak banyak berubah.

jalan besi itu masih terus menuntun kami. melewati tiap tiap petak daerah dengan cepat. dengan sekilas. dan aku tak dapat menikmati tiap detail lukisan bergerak di balik peronku. walau begitu aku tetap menyukai hal ini.

mengapa?? karena jalan besi tua ini sangat konsisten. mengarahkan kami terus menerus. tak berubah. tak bergerak. tak bergeming. bersambungan tanpa kabar terpisah. aku menyukainya. hal sederha seperti jalan besi tua ini.

lautku#puisi

malam itu aku bermimpi. sebuah mimpi yang begitu sederhana. dan begitu memikat. diriku terhisap ke dalan pusaran ingatan semu. berputar searah aliran roda waktu.

sejujurnya aku takut. sendiri dalam rasa kalut. berenang lintasi dimensi hidupku, tanpa bayangan tenggelam di benakku.

lautku begitu mempesona.walau hampir yang kulewati hanyalah warna hitam yang pekat, namun terang dengan kerlipan yang terus bertambah jumlahnya. semakin kuarungi lautku, semakin aku tahu bahwa kerlip itu sedang menceritakan kisah kita. kerlip itu pula yang terus menemaniku, menuju rasi dirimu yang tak lagi kabur.

ah, aku menyadarinya sekarang. aku mulai paham mengapa aku bermimpi hal ini. malam itu, sebelum mataku mulai terkantuk, aku memikirkan dirimu. ya dirimu. sosok yang kurindu malam itu

Sabtu, 10 Desember 2016

ajari aku #puisi

Sejuta knangan dlam memori, mnunggu untuk d kenang kmbali

Saat in smua sngatlah emosional
Sulit dipahami, tk mudah d mngerti
Trjerat dlm smua pkiran tunggal tak logis

Mnumpuk monumen yg akn d ingat dlm benakku..dan benak kita...

Tolong kirimkan pdaku resep dlam diri
Yg dpt mmbuatmu hdup tnpa trgoyah
Krnaku saat in rapuh dlam kepedihan

Tlong ajari ak cara berjalan d dunia in
Karnaku dpt trjatuh saat melintasinya
Pribadiku akan hilang..
aku lumpuh tanpa nyawa..
Bntulah ak untuk memapah diriku berdiri, nanti...

Kumohon, mainkan dn nyanyikanlah puisi lagu tangisku..
Agar ak dpat bngkit kmbali
Karnaku hnya dpat tahu dn paham,
bahwa kau kan selalu ad  untukku..

Cptakan ritme dgn balok - balok not alur hdupku. Dn dgn bgetu, kau dpat mmbuatku trus tegar untk brnafas

Tlong, ajari aku dgn seribu cara yang ada, yang telah kau simpan dn kau miliki
Hingga esok hari dlam dunia mimpiku

Kamis, 22 September 2016

Deja vu

            “Jangan seenaknya! Kamu pikir dirimu itu siapa?!” bentak Farah di pagi itu. Seperti sudah kegiatan rutin mereka setiap pagi, saling berteriak tanpa ada yang mau mengalah. Menyalahkan satu sama lain seolah bukan  diri mereka yang salah. Dan kali ini hanyalah masalah yang sepele,  karena bendahara kelas kemarin belum menarik uang iuran kelas untuk acara BAKSOS sekolah.

            “Aku siapa? Sudah jelaskan kalau aku ketua kelas? Masih tanya lagi.” jawab Ilham dengan suara yang sedikit meninggi. Di pandanginya Farah dengan sorot pandang yang kesal. Bendahara kelas masih mencoba melerai mereka dengan rasa sedikit takut, ia paham betul penyebab dua pengurus kelas itu bersitegang lagi karena kelalaian dalam tugasnya.

            “Kemarin aku benar – benar sudah kasih pengumuman di kelas Ham!” bela Farah tak kalah keras.

            “Percuma! Buktinya mana Farah! Uang itu harus diserahkan hari ini.!” Sentak Ilham dengan jengkel.

            “A..a..a...aku akan tarik uang iurannya sekarang.”  lerai bendahara kelas lagi sambil berusaha melepas ketegangan buruk pada atmosfer yang di ciptakan Farah dan Ilham.

            “Aku tahu! Kamu ya jangan seenaknya main perintah aku ! Kamu sendiri punya tanggung jawab apa di kelas kemarin?!” sentak Farah tanpa menggubris leraian bendahara.

            “Kemarin itu aku sibuk mengurus acara BAKSOS. Dan kamu sebagai wakil seharusnya bisa gantikan aku saat sibuk!.”

            “Kamu pikir yang mengurus acara BAKSOS hanya kamu saja? Aku juga Ham!”

            “Haduh! Dari tadi ramai sendiri. Masih pagi ini! Masih jam enam.!” bentak  Githa yang sibuk menghapal teori Fisika yang akan dijadikan bahan ulangan nanti di pojokan kelas. Tapi seperti yang sudah diduga, Farah maupun Ilham sama sekali tidak menghiraukan bentakannya. Dengan masih terlihat jelas perasaan kesal, Githa keluar kelas dengan masih diiringi sentakan keras Farah dan suara tinggi Ilham.

.......................................................................

          “Pengumuman, bagi seluruh anggota OSIS kelas delapan dan sembilan. Nanti sepulang sekolah harap berkumpul di kelas 9A. Sekali lagi, bagi seluruh anggota OSIS kelas delapan dan sembilan, nanti sepulang sekolah harap berkumpul di kelas 9A. Terimakasih” ujar sebuah suara beberapa menit sebelum bunyi bel sekolah, yang membuat semua murid mengepaki seluruh barang mereka masing-masing dengan cepat.

Dengan langkah cepat yang terkesan tergesa-gesa, Farah membawa semua barangnya menuju kelas 9A. Seolah mendobrak pintu dengan tenaga yang cukup keras, terdengar bunyi pintu yang menghantam tembok di samping pintu tersebut. Ruang kelas itu terlihat sepi, hening, lenggang. Farah baru ingat akan sesuatu, seperti sudah menjadi tradisi di sekolahnya. Sebelum rapat OSIS dimulai, sebagian murid menuju kantin. Mengisi tenaga setelah berjam-jam berkutat dengan buku dan teori pendahulu yang masih digunakan. Farah mendesah dengan pelan, susah payah ia berlari dengan terburu-buru, karena masih harus mengerjakan tugas PIKET kelasnya. Ia terlihat kesal, “Lagi-lagi.” Pikirnya, teman-teman laki-laki sekelasnya langsung kabur meninggalkan tugas bebersih rutin seperti biasa.

Kali ini Farah lebih memilih untuk menetap di kelas, menyendiri dalam ketenangan dengan mood yang buruk. Ia malas berkumpul dengan teman-temannya di kantin. Ia terlihat lelah. Matanya berat. Kepalanya terasa pusing. Dengan langkah gontainya, ia menaruh seluruh barangnya di meja yang paling dekat dijangkaunya. Dan tanpa menunggu satu dua lagi terhitung, ia tertidur di bangku kelas yang paling depan dengan tenang.

.......................................................................

Entah sejak kapan sebuah tangan dingin menyentuh kening Farah, dan suara-suara yang sunyi tersebut perlahan-lahan berubah gaduh dengan seruan dari banyak pengucapnya.

“Enggak ikut ke kantin? Tumben banget Far.” Ujar pemilik tangan dingin tersebut.

 “Farah. Kamu udah selesai buat proposal BAKSOS kan? Harus segera minta tanda tangan ke Ketua Agung lho.” seru Dinda sesaat melihat Farah. Ditangannya terdapat sebotol air mineral yang tinggal separuh diminumnya.

“Faarrrahhh!! Tadi kamu kemana saja? Aku sudah nungguin kamu dari tadi.” tanya Ratna dari arah sampingnya, sembari mengambil posisi tempat duduk di sebelahnya. Farah hanya tersenyum seadanya dengan malas. Pertanyaan – pertanyaaan selanjutnya berhenti sesaat ketua OSIS Agung meminta semua tenang dan meminta untuk segera memulai rapat.

Rapat kali ini membahas pengumpulan dana kelas untuk turut disumbangkan pada BAKSOS pekan depan. Setiap kelas harus memberikan dana bantuan sukarelanya. Perwakilan OSIS dari setiap kelas diwajibkan menyerahkan dana tersebut hari ini. Begitulah inti dari rapat yang bisa di tangkap Farah saat itu, sesaaat Ketua Agung menjelaskannya di depan. Ia merasa bosan, lelah, yang menjadikannya sedikit untuk dapat memahami dalam batas kesadarannya yang tidak banyak.

Farah maju ke depan sambil membawa dana sukarela dari kelasnya dan proposal BAKSOS, kelas mereka tertolong karena ada siswa yang bersikap dermawan dengan meminjamkan uangnya sementara untuk kegiatan tersebut. Dengan diiringi dengusan sebal karena sempat bertengkar lagi dengan Ilham,  karena masalah siapa yang akan maju ke depan menyerahkannya. Sesuatu yang tak penting untuk didebatkan. Tetapi ini kasus yang berbeda, bagi Farah dan Ilham akan selalu ada masalah yang bisa didebatkannya.

“Ini uangnya, totalnya Rp.100.000,-. Lalu yang ini proposalnya, kamu tinggal cek ulang saja. Kalau masih ada yang salah tinggal aku perbaiki. Tapi kalau bisa batas cek akhirnya besok ya? Aku banyak tugas Gung, belum sempat aku kerjakan semua.” ujarnya sembari menyerahkannya. Ketua Agung hanya menggangguk pelan sambil membolak-balikkan halaman proposalnya.

“O ya Far, kamu yang pegang uang dana BAKSOS ya? Calista bendahara pertama nggak masuk karena sakit. Sedangkan bendahara keduanya nggak bisa ikut rapat ada remidi, lagi pula ia masih kelas satu.” ujar Ketua Agung setelah Farah berbalik untuk kembali, Farah segera memutar badannya kembali ke posisi awalnya.

“Haa? Memangnya ada hubungannya sama kelas ya?” tanyanya bingung.

“Ya nggak juga sich. Tapi aku kurang yakin saja sama dia.”
“Berarti kamu nggak percaya sama dia kan? Kalau gitu kenapa kamu pilih dia sebagai bendahara dua coba?”

“Kan bukan hanya aku saja yang punya hak pilih Far. Nih ambil, sekalian datakan ya?”

“Ya sudah, sini. Cuma nge-data saja kan Gung?”

“He-eh.” Dengan engan Farah kembali dengan setumpuk uang di tangannya. Ia berjalan pelan, raut wajahnya berubah saat melewati bangku Ilham.

“Ngapain kamu bawa uang BAKSOS?” tanya Ilham dengan nada curiga. Dilihatnya uang dana BAKSOS di tangan Farah. Entah mengapa, pandangan itu terlihat seperti meremahkan di mata Farah.

“Dia memang menyebalkan.” rutuk Farah dalam hati.

“Ini sama sekali bukan urusanmu “Pak Ketua”.” Jawab Farah dengan sinis sambil menekankan dua kata terakhirnya .

Sing genaha Far!”

“Wis genah aku iki. Biasa ae lho.”

“Ya kamu itu yang nggak biasa, wong takon apik-apik jawabe sakarepe dhewe.”

Yo ancen karepku Ham. Masalah buatmu?”

“Sudah-sudah. Nggak capek apa sepanjang hari teriak-teriak terus kakak-kakak?” lerai lembut seorang anak gadis kelas delapan.

“Maksud kamu aku yang salah gitu?” tanya Ilham sambil menoleh dengan cepat. Sama sekali nggak nyambung.

“Eeh, bukan itu maksud aku kak.” Jawab anak gadis itu seperti menyesali ucapannya. Ia merasa hanya membawa dirinya terseret arus yang salah.

“Dilihat dari sudut manapun memang kamu yang salah Ham.” Tudah Farah, matanya menatap mata anak gadis itu. Mencari teman untuk membantunya.

“Enak saja. Seharusnya kamu ucapkan itu untuk kamu sendiri.” Jawab Ilham dengan sengit.

“Farah, Ilham! Nggak bisa tenang apa? Ini masih rapat.” Seru Ratna yag dari tadi sudah memperhatikan mereka.

 “Tapi dia yang salah!”  seru Farah dan Ilham dalam timing yang hampir sama.

“Dimataku kalian nggak ada yang benar! Nggak malu apa sama anak kelas delapan?” tutur Ratna dengan kesal. Mereka memang tak bisa diatur.

 “Farah! Kamu nggak bisa duduk apa?” tanya Ketua Agung saat melihat Farah masih dalam posisi berdiri. Di tegur seperti itu membuatnya terlihat gugup.

“Eeh,bisa kok.” Jawabnya sambil terburu-buru kembali ke bangkunya semula.

“Dia memang nggak bisa duduk kok , Gung. Nggak bisa tenang. Hiperaktif.” Seru Ilham dengan nada sinis. Farah hanya mendelik kesal menatapnya dari tempat duduknya, tanpa sempat membalas ucapannya.

.......................................................................

            Jam pertama adalah Olah raga. Semua murid kelas 9G terlihat terburu-buru menuju lapangan sebelum Pak Timbul datang lebih dulu. Semua seakan paham perlakuan apa yang didapat saat terlambat pelajaran beliau. Tanpa diminta berbarispun, mereka sudah melakukannya dengan rapi. Merasa tenang akan tes yang diberikan nanti .

            Berbeda dengan Farah, entah akan apa, saat ini perasaannya tidak enak. Bukan karena takut akan tes nanti. Farah adalah orang yang cerdas dengan kemampuan olahraga yang dapat terbilang cukup baik, pada tes minggu lalu ia memasukkan bola basket dua puluh tiga kali ke dalam ring dalam waktu satu menit. Tapi perasaan seperti akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Feeling Farah memang tak selalu benar, dan ia tahu betul akan itu, tapi ada keyakinan akan hal tersebut, hanya saja sulit dijelaskannya dengan baik.

            Sesuatu tersebut terjadi setelah istirahat pertama dimulai. Farah diminta oleh Ketua Agung untuk menemaninya ke Pak Ricky yang saat itu sebagai pembina OSIS. Mereka akan menyerahkan proposal sekaligus dana BAKSOS yang dipegang Farah. Saat melihat Ketua Agung ada di pintu masuk kelasnya, Farah segera menuju tasnya dengan Ilham berjalan melintasinya ke arah Ketua Agung. Terlihat mereka berbicara dengan serius, akan tetapi Farah tak ambil pusing akan hal itu. Dengan cepat,  Farah melewati beberapa meja dan bangku untuk ke tempat mejanya berada. Dan sesuatu yang tak diharapkannya dalam doanya setiap malam seolah terkabulkan.

.......................................................................

            Sekujur tubuh Farah terasa beku di tempat, keringat dingin keluar dari kedua  pelipisnya, menciptakan sensasi aneh di kulitnya. Muka Farah pucat pasi. Seakan-akan ada yang menghantam lambungnya dengan kekuatan yang keras. Membuatnya merasa mual. Menyesakkan. Dan hanya satu yang ada dalam fikiran Farah.

            Uang.

            Dana BAKSOS.

            Hilang.

            Dalam.

            Sekejap.

            Ingin Farah berteriak saat itu juga, tetapi suaranya seakan tertahan di tengah tenggorokannya, membuatnya tak bisa berbicara pada detik itu.

            Bencana! Bencana! Bencana!

            Dengan liar Farah membongkar isi tasnya yang ketiga kalinya. Melempar buku-bukunya ke lantai dengan kasar. Ia merasakan takut. Kalut. Resah. Maupun cemas. Tetapi berulang kalipun Farah mencari, uang tersebut tetap saja tak ada. Bulu kuduknya merinding. Farah mencoba menganalisis keadaannya dengan tenang. Tetapi Tuhan berkehandak lain, sekeras apapun Farah berusaha tenang, perasaannya tetap kacau balau.

            Seseorang pasti telah mencurinya. Hanya itu kemungkinan terakhirnya. Ia yakin, karena tadi pagi uang tersebut masih dalam tasnya, Farah melihatnya sesaat menaruh seragam sekolahnya di tas. 

            Melihat keadaan Farah yang aneh dari jauh,  dan terlalu lama waktu yang dibutuhkannya untuk hanya mengambil satu barang, Ilham mendekatinya. Pasti terjadi sesuatu padanya, pikirnya. Saat melihat Farah dengan wajah yang syok bersama seluruh bukunya berserakan di lantai. Dugaanya benar telah terjadi sesuatu.

            “Kenapa?” tanya Ilham pelan. Batas kepahamannya dalam mencerna keadaan saat ini hanyalah 20%. Iham merasa bingung pada dirinya sendiri, ini pertama kalinya ia berbicara dengan Farah tanpa ada nada benci dan kasar dalam kalimatnya, seperti yang biasa ia lakukan..

            “Hilang. Uangnya hilang.” Isak Farah pelan. Suaranya terdengar bergetar dengan pelan.

            “Barusan hilang?” Tanya Ilham dengan pelan. Farah hanya mengangguk. Farah mengangkat wajahnya yang semula tertunduk, menatap Ilham yang selama ini dianggapnya sebagai musuh. Mencari tahu akan reaksi apa yang didapatkannya.

            Ilham menghela nafas dengan pelan. Terdapat rasa peduli akan kawan dalam dirinya muncul saat itu, dan ini aneh. Bukannya Ilham tak pernah bersikap peduli dengan teman-temannya, akan tetapi berbeda saat rasa itu muncul dengan Farah yang menjadi obyek pedulinya, di mata Ilham selama ini Farah adalah sosok perempuan yang menyebalkan.

            “Beneran hilang Ham, aku nggak tahu sama sekali. Tiba-tiba saja sudah nggak ada di tasku.”seru Farah seakan membela diri. Tangannya berkali-kali memijit kepalanya dengan pelan, semua masalah berkecamauk dalam pikirannya.

            “Sudahlah, masalah ini biar aku saja yang bicarakan dengan Agung.” Selepas berkata seperti itu, Ilham menggenapkan janjinya. Setelah menepuk punggung Farah pelan, dengan tujuan menenangkannya. Dengan langkah pelan ia menuju tempat Ketua Agung menunggu.

            “Ada apa?’ tanya Ketua Agung bingung. Ia mengharapkan Farah datang dengan membawa uang dana BAKSOS, bukannya Ilham dengan tangan kosongnya.

            “Ada problem. Ayo ikut aku.” Ilham berjalan duluan meninggalkan ketua Agung yang masih terpaku di tempatnya, sebelum beranjak mengejar Ilham, Ketua Agung sempat melihat Farah dengan sekilas. Perempuan itu terduduk di bangkunya dalam diam.

            Ilham berbelok ke arah kantin, membeli dua botol teh dingin untuknya dan Ketua Agung. Memberikannya sebotol pada Ketua Agung dan meminum sendiri bagiannya. Mengajaknya untuk duduk di bangku kayu kantin yang panjang.

            “Hilang.” Ujar Ilham dengan tiba-tiba.

            “Apanya?”

            “ Ya uangnya Gung.”

            “Uang apa?” tanyanya bingung, sepertinya ia mulai bisa menangkap arah pembicaran ini.

            “Ayolah, kau paham maksudku.”

            “Maksudnya uang BAKSOS? Jangan bercanda deh Ham. Ini sama sekali nggak lucu,” Jawab Ketua Agung dengan santai. Ia kembali meneguk teh miliknya.

            “Aku tahu Farah, dia bertanggung jawab banget Ham.  Dan aku tahu kamu nggak suka sama dia, tapi nggak sampai bersikap seperti ini jugakan?”

            “Dengarkan  aku Gung. Apa selama ini aku pernah berkata bohong sama kamu? Aku beneran serius. Maka dari itu aku mengajakmu bicara. Bantu aku untuk  mencari solusinya,” Jawab Ilham sedikit tersinggung atas argumen Ketua Agung sebelumnya. Sebelum melanjutkan, Ilham menarik nafas lagi untuk kesekian.

            “Sebenarnya aku malas mengakuinya, tapi kamu benar, Farah memang bertanggung jawab. Dan nggak ayal lagi pasti ada yang mencurinya. Bagaimana menurutmu Gung?”  Tanya Ilham sambil menimang botol minumannya. Lalu pandangannya di alihkannya pada Ketua Agung utuk melihat reaksinya. Dalam sorot pandang Ilham, terlihat Ketua Agung tersenyum sekilas.

            “Nggak  aku sangka kamu pandai mencermati keadaan dengan tenang Ham. Yah, tapi bagaimanapun juga aku harus tanya keadaan yang sebenarnya dengan jelas pada Farah. Kita adakan rapat lagi nanti sepulang sekolah. Diskusikan bersama dengan anggota OSIS yang lain, tanya pendapat mereka akan tindakan apa yang akan kita lakukan. Aku nggak akan marah padanya, karena aku tahu memang bukan dia yang salah. Tapi ini masalah serius Ham, Kau tahu itu.” Setelah berkata seperti itu, Ketua Agung meninggalkan Ilham menuju kelasnya, karena tepat enam detik yang lalu bel telah berbunyi sebelumnya.

.......................................................................

            Entah mengapa Ilham merasa bingung, ganjil, atas atmosfir yang sedang di alaminya  sekarang.Mengapa ia menjadi berjalan bersisian dengan Farah di sampingnya saat pulang sekolah menuju ruang kelas 9A, sebagai tempat rapat Osis. Ilham melirik perempuan tersebut dengan pelan, Farah. Wajahnya yang biasa cantik itu sekarang terlihat sembab sehabis menangis. Dan dengan kedua bola mata yang dapat jelas terlihat oleh semua orang yang berada di dekatnya, pasti dapat melihat matanya yang masih sedikit memerah. Mungkin jika merujuk pada kata apa yang cocok dengan keadaannya keadaanya sekarang, Farah terlihat begitu payah. Berantakan. Cara jalannya tidak setegap biasanya. Ilham tahu betul cara jalannya berbeda, karena Farah dan dia termasuk dalam anggota elit PASKIBRA di sekolahya dengan posisi pangkat yang sama dengan struktur pengurus kelasnya, dengan Ilham sebagai ketua dan Farah sebagai wakil. Badannya sedikit membungkuk dengan rambut yang dikuncir kuda dengan asal. Terlihat banyak rambutnya tergerai bebas seolah tak mau di atur dalam satu ikatan.Selepasnya kembali dari kantin, Farah terlihat di kelilingi oleh beberapa teman-temannya. Melihat kejadian mencolok tersebut ada sesuatu yang aneh terlihat, ia sempat melihat teman sebangku Farah, murid baru yang terlihat takut  dan gelisah akan sesuatu. Berbeda dengan teman – teman  yang mengelilingi Farah dengan perasaaan simpati. Murid tersebut terlihat menonjol dalam raut wajahnya yang berbeda. Pikiran buruk berkecamuk dalam otaknya. “Ada sesuatu....” Batin Ilham dalam hati.

            Farah dan Ilham sampai di pintu kelas 9A yang menjadi ruangan rapat OSIS hari ini. Mereka berdua masih diam terpaku di depan pintu tersebut. Beum ada tanda – tanda mereka berdua akan masuk.

            “ Lebih baik kamu basuh wajahmu, kau terlihat kacau saat ini.” Ujar Ilham sebelum membuka pintu kelas.

            “Aku rasa aku lebih terlihat kacau jika bertengkar denganmu Ham.” Jawab Farah dengan senyum yang dipaksakannya. Ia segera berlari kecil menuju westafel di depan kelas 9B.

            “Dia lebih tegar dari yang aku kira.” Ujar Ilham pelan saat melihat Farah mencuci mukanya. Dengan berusaha tenang, Farah kembali menuju kelas 9A. Farah membiarkan Ilham yang membuka pintu kelas dan berjalan duluan. Dengan menunggu beberapa detik, Farah memasuki kelas dengan sikap yang terlihat di paksakan untuk  tenang, mengambil tempat duduk si sebelah Ratna yang masih kosong, dengan banyak pasang mata yang menatapnya dalam diam.

            “Oke kita mulai rapat dadakan  kita,” seru Ketua Agung memecahkan keheningan dalam ruangan tersebut.

            “Secara garis besarnya kalian sudah tahu apa yang sedang terjadi, dan alasan kita rapat pada hari ini.”

            “ Ya, Farah menghilangkan uang dana Baksos yang lebih dari dua jutakan?” ujar sebuah murid kelas sembilan berambut ikal. Di tatapnya Farah dari jauh dengan sinis.

            “Ya ampun Gung, kamu kenapa kasih tanggung jawab sama anak seperti dia coba? Seperti nggak ada murud lain yang kamu percaya saja.” Seru anak perempuan di sebelah gadis berambut lkal tadi menyahut. Farah semakin tertunduk, seolah mulutnya dimintanya untuk tetap membungkam. Ia sadar bahwa ia tak bisa meyangkal kebenaran yang nyata akan hal tersebut.

            “Ini bukan masalah tanggung jawab apa bukan, tapi Agung meminta kita untuk mencari solusi, bukan menambah perkara.” Ujar Ilham dengan kesal, seolah seperti mukjizat, semua pasang mata memandang Ilham dengan tatapan heran. Bingung dengan perubahan rasa peduli Ilham pada Farah. Dengan sikap angkuh yang di buat - buatnya, Ilham seolah tidak sadar telah diperhatikan .

            “Ya, karena pada dasarnya aku memang percaya dengan Farah,” Jawab Ketua Agung denga tegas, yang membuat semua perhatian teralihkan padanya lagi.

“ And who knows? Masalah ini muncul tanpa diundang bukan?”            

“Ku pikir ini bukan salah Farah, aku percaya padanya karena aku mengenalnya,”   Ujar Ratna dari samping Farah, diucapkannya kalimat tersebut sambil mengenggam tangan Farah. Farah balas menatapnya dalam diam dengan penuh rasa terimakasih.       

“Dan aku tahu betul bahwa Farah tak sengaja menghilangkannya. Ku pikir ini ulah seseorang yang iseng padanya.” Lanjut Ratna kemudian. Tangan Farah terasa begitu dingin dalam genggamannya.         

“ Yah, atau mungkin ... dendam...” balas anak berambut ikal tadi dengan diikuti lirikan mata menuju pada Ilham. Ilham yang sadar akan pandangan menusuk tersebut mulai merasa panas.

“ Tuduhan tak beralasan!” sentak Ilham tiba-tiba.

“Tak beralasan katamu? Seluruh sekolah tahu kalau kamu benci banget dengannya Ham. Nggak perlu deh kamu pakai acara bela-belain dia. Munafik Ham!” balas anak berambut ikal lagi.

“Berhenti! Kamu sama sekali nggak punya alasan untuk menuduhnya.” Seru Farah dengan keras. Tangannya yang masih menggenggam tangan Ratna dengan  bergetar , entah mengapa kata-kata tersebut keluar tanpa sempat ada persetujuan dengan otaknya. Refleks.

“Hei, seharusnya kamu sadar kamu itu tersangkanya di sini! Masih punya kuasa diri buat teriak ya?!” balas perempuan ikal lagi dengan sengit.

“Sadar diri dong jadi orang. Kamu paham nggak sih, keberadaanmu sekarang itu mengganggu! Makanya jadi orang jangan seenaknya! Bikin susah orang saja. Kalau kamu masih punya tenaga buat teriak seperti tadi, lebih baik kamu cari uangnya!!” lanjutnya sengit.

            “ Hei, ya biasa saja bisa kan? Kalau ngomong nggak usah ngotot gitu dong?! Kamu sendiri punya nggak sih yang namanya rasa simpati!” Balas Ratna yang mulai kesal.

            “Simpati? Sama orang kayak dia? Ya nggak lah. Buat apa coba? Dan kamu di sini juga nggak ada hubungannya  sama Farahkan? Nggak usah deh kamu bersikap sok pahlawan di sini? Mau cari muka ya?”  Sentak gadis berambut ikal lagi. Jelas sekali ia terlihat nggak mau kalah.

            “Apa kamu bilang....” seru Ratna panas sambil beranjak dari kursinya. Di pandanginya gadis ikal tersebut dengan sorot mata  kesa yang bagitu kentara.

“Cukup! Aku mengadakan rapat bukan untuk merunyamkan masalah. Sebaiknya kamu tutup mulutmu dan jangan bersikap menjadi kompor di sini!” tegas Ketua Agung sambil menunjuk pada gadis berambut ikal tersebut, yang melihat suasana di ruangan tersebut semakin memburuk. Melihat ketua Agung yang jarang terlihat marah, gadis berambut ikal tersebut mengunci mulutnya dengan kesal. Ratnapun kembali duduk dengan gusar. Di eratkannya genggaman tangannya pada Farah. Seolah dengan melakukan hal tersebut dapat menenangkan pikirannya yang sedang kalut.

Seketika ruangan tersebut menjadi hening, seolah membiarkan waktu yang berkuasa di antara semuanya. Dalam keadaan yang seperti sekarang, Farah tak dapat bersikap tenang terus-terusan. Kelalaian tanggung jawab baginya yang membawanya kemari. Memberikan pukulan telak akan apa yang ia sebut dengan tanggung jawab. Hening, keadaan masih dalam keadaan hening tanpa ada yang berusaha untuk mengembalikan ke kutub yang benar. Dan tiba-tiba sebuah suara terdengar, bukan dari penghuni kelas yang ada di ruanagn yang lumayan luas tersebut, melainkan ketukan pintu ruangan terdengar perlahan. Ketua Agung mengambil sikap dengan mencari tahu ke arah pintu. Terlihat Bu Puji, guru BK kelas 9G datang. Ketua Agung dan Bu Puji berbicara dengan pelan di luar ruangan kelas. Setelah beberapa saat  Ketua Agung kembali dengan memanggil Ilham untuk ikut ke luar dengannya.

Ketua Agung datang dengan Ilham di sampingnya sekitar tiga menit kemudian, Farah menatap mereka dengan kaget bukan atas kedatangan mereka. Akan tetapi kekagetannya muncul ketika melihat ketua Agung membawa setumpuk uang dalam amplop biru yang sama persis dengan amplop yang hilang tersebut, amplop yang berisi uang BAKSOS.. Dengan gerakan refleksnya, Farah berlari menuju mereka. Ditatapnya mereka satu persatu seolah meminta penjelasan.

“Yap, orang iseng sudah menjadi orang yang beriman, dengan mengembalikan uang ini kembali pada kita” ujar Ketua Agung dengan menunjukan uang dana BAKSOS tersebut.

“Dan sebuah tuduhan tak beralasanpun hilang.” Seru Ilham dengan keras, mencoba menyindir seseorang. Farah terduduk lemas, seakan beban berat telah hilang dari pundaknya. Ia tersenyum dengan diikuti beberapa bulir air yang keluar dari matanya. Membentuk alur air mata dengan lambat. Farah menangis dengan pelan.

.......................................................................

Sekali lagi, Farah dan Ilham berjalan bersisian saat rapat OSIS usai. Dan semua masih terasa aneh bagi mereka. Sepanjang jalan menuju bagian luar sekolah, terasa dimensi waktu membatasi mereka dalam diam saat itu. Tanpa ada yang bicara mereka berjalan dengan tenang.

“Yah, bagaimanapun juga aku harus berterimakasih padamu.” Ujar Farah membuka pembicaraan, matanya tertuju pada pion-pion lantai sekolah.

“Bagaimanapun juga katamu? Kau masih tetap menyebalkan rupanya.” Gurau Ilham pelan.

“Hmm? Memangnya dengan adanya kejadian ini aku akan berubah pendapat tentangmu? Apa mungkin kamu mengharapkanya Ham?” ujar Farah iseng.

“Tidak, terimakasih. Akan menakutkan rasanya jika aku punya teman dengan sosok sepertimu.” Jawab Ilham sambil melirik Farah.

“........”

“.......”

“Hei mengapa Bu Puji datang dan bisa mengembalikan uangnya?” tanya Farah mengalihkan topik pembicaraan mereka.

“Besok kamu ya juga tahu, kan ada pelajaran BK Far. Kemungkinan Bu Puji akan membahasnya.” Jawab Ilham singkat seakan malas membahas hal tersebut. Farah hanya mangut – mangut pelan.

“...”

“Kenapa?” Tanya Ilham setelah Farah tak menjawab apapun.

“Kupikir aku memang harus berterimakasih padamu. Tapi rasanya...” Guman Farah sambil menerawang jauh ke arah depan. Terlihat beberapa anggota dari tim Futsal sekolahnya melakukan beberapa gerakan ringan sebagai pemanasan di sisi kiri lapangan. Tak jauh dari mereka, Farah dapat melihat anggota Pramuka inti sedang melakukan beberapa hal yang berbeda. Salah satunya melakukan gerakan baris – berbaris berkelompok dengan dua orang yang di kenal Farah dari kelas 9e dan 9f sebagai pemimpinnya. Lalu Sekelompok lainnya terlihat sedang berdiskusi dengan beberapa pembina pramuka yang di kenal Farah sebagai alumni di sekolahnya. Di dalam kelompok tersebut terdapat dua orang yag di kenal Farah dan memang sekelas dengannya. Salah satunya yang membawa pena beserta buku melihat Farah dan tersenyum dengan jenaka melihatnya berjalan bersisian dengan Ilham.  

“Agak berat ya?,” potong Ilham tiba-tiba. Seakan Farah baru sadar dari lamunannya dan segera kembali kepada kenyataan.

“Yah, aku paham akan hal itu. Kita terbiasa dengan menyebut satu sama lain dengan sebutan “Musuh”bukanKupikir semua ini memang terasa aneh. Sama sekali tidak bisa diukur dengan logika.” Terdengar suara Ilham melanjutkan.

“Kata-katamu seperti kakek-kakek saja. Apa mungkin ada gen dalam dirimu yang dapat membuatmu tidak terlihat tua?” desah Farah pelan setelah mengontrol dirinya kembali dengan baik.

“ Ahaha, lelucon yang tak lucu Far.” Jawab Ilham tertawa tak ikhlas.

“.....”

“.....”

“Akan ku traktir kau jus di depan jika sampai ke gerbang duluan sebelum aku.” Seru Farah tiba-tiba sembari berlari duluan. Meninggalkan Ilham jauh di belakangnya. Mungkin mereka akan tetap berhubungan menjadi musuh, tetapi mulai sekarang mungkin mereka akan lebih cepat berbaikan.Yah, mungkin...

“Hei tunggu! Kau curang!” teriak Ilham dari belakang, dicobanya untuk mensejajari langkah lari Farah yang sudah hampir sampai ke gerbang. Tetapi terasa sulit karena Farah sudah mencuri start duluan, dan dengan bawaan yang berat pada pundaknya menjadi hambatan baginya untuk menyusul Farah. Dan tiba-tiba saja Farah jatuh terjerembab menyentuh aspal.

“Aduhh.” Ujar Farah sambil meringis, sikunya menjadi lecet karena terkena rasa panas pada  aspal.

“Kau ini. Seberapa bodoh sich dirimu?” tanya Ilham dengan mengulurkan tangan kanannya. Nafasnya terlihat tidak teratur.

“Entahlah.” Jawab Farah enggan. Di terimanya uluran tagan Ilham, dan seakan flash back, genggaman Ilham terasa dingin. Anehnya rasa dingin tersebut tidak terasa pada tangan yang dipegang Farah, melainkan pada keningnya. Tiba-tiba saja suara-suara yang ramai dan tak asing bagi Farah terdengar perlahan demi perlahan. Farah merasa jauh. Dan bumi seakan berputar mengelilinginya...

Entah sejak kapan, Farah yang seharusnya berada dalam jalanan sekolah dengan siku yang lecet dan yang kotor akibat jatuh, berubah menjadi di sebuah ruangan kelas dengan posisi terduduk di sebuah bangku. Terlihat beberapa anak lalu lalang di depannya.

“Enggak ikut ke kantin? Tumben banget Far.” Ujar seseorang. Farah menatap semua yang ada di depannya dengan bingung. Lho? Mimpi?

 “Farah. Kamu udah selesai buat proposal BAKSOS kan? Harus segera minta tanda tangan ke Ketua Agung lho.” seru Dinda sesaat melihat Farah. Terlihat ditangannya terdapat sebotol air mineral yang tinggal separuh diminumnya.  Farah masih melongo dengan heran. Berusaha mencermati keadaan di sekelilingnya, seolah ia sedang beradaptasi.

“Faarrrahhh!! Tadi kamu kemana saja? Aku sudah nungguin kamu dari tadi.” tanya Ratna dari arah sampingnya, sembari mengambil posisi tempat duduk di sebelahnya. Tiba-tiba saja Farah seakan tak dapat mendengar suara yang ada di sekitarnya lagi. Pikiran tunggal dalam mimpi Farah seolah membongkar pasang ingatan tak nyatanya. Memproses data dengan cepat tanpa terhenti. Farah berpikir dengan keras, terasa ada yang aneh baginya. Kejadian lalu seakan sedang di rewind.

Belum sempat Farah menyelesaikan pikirannya yang sibuk, Ketua Agung terlihat sibuk  berbicara di depan kelas akan isi rapat. Otak Farah seakan kosong. Pikiran buruk akan mimpi berkelebat tak rapi di depannya, menayangkan semua kejadian demi kejadian runtut dengan gusar.

“Eh, lho? Kok jadi begini? Semuanya seakan-akan seperti....”batin Farah pelan.

“Deja Vu.”

                                               _SELESAI_     

Tersesat dalam dongeng#puisi

Perasaan in bgitu memuncak
Tertusuk dgn ratusan jarum tpat dihati

Bahkan tnpa logika yg ad,msih dgn jelas ak merasakn sakitnya
Ak brusaha skuat tenaga menutup tlingaku

Mncoba mnghilangkan smua pkiran omong kosong mreka
Bhkan, mngkhianati ap yg ak percaya

Tpi mengapa?
Mngapa rasa skit in msih menguasaiku?

Tapi mengapa??
Mengapa Pandangan mereka begitu merantaiku?

Tapi mengapa???
Mengapa bisikan mereka seolah memenjarakanku dalam sangkar

Aku sendiri didalam dunia yang kubuat
Aku begitu terlukaa..
Aku tersesat
Layaknya liliput di tengah dongeng cinderella